"...Bahkan Market street, salah satu jalan paling oportunis dan mahal di jantung kota San Francisco tidak pernah terlihat macet seperti jalan paling oportunis di kawasan Dramaga: jalan Bara..."
"Saya juga tidak begitu suka dengan sistem ini.” Seorang guru memberikan opininya saat kami sedang membahas sistem transportasi di San Francisco. “Well, mungkin bisa dibilang itu yang terburuk. Kemacetan terjadi hampir setiap hari, setiap waktu.”
Pandangan gua seketika buyar, mencoba menelusuri seluruh jalan di San Francisco yang gua ingat. Mulai dari Farallones street tempat gua memulai hari, Hyde St., Embarcadero St., North Point St., sampai Crooked Street di Lombard yang selalu dipenuhi turis. Tapi entah jalan mana yang Jacquie anggap selalu macet. Bahkan Market street, salah satu jalan paling oportunis dan mahal di jantung kota San Francisco tidak pernah terlihat macet seperti jalan paling oportunis di kawasan Dramaga: jalan Bara. Tidak. Gua yakin Jacquie belum pernah merasakan terjebak di persimpangan Berlin saat pagi hari atau jalan di sepanjang Dramaga pada jam-jam sibuknya. Kemacetan di San Francisco selalu punya alasan yang jelas dan masuk akal.
Gua ingat betul saat pertama kalinya pickup driver mengantarkan gua dari Best Western Hotel di North Point St. menuju rumah yang akan gua tinggali selama 8 minggu ke depan, rumah Gabriel. Sepanjang perjalanan lebih sering kami habiskan dalam diam, kecuali obrolan ringan. Pikiran gua telah melayang membayangkan betapa bersihnya kota San Francisco, betapa EKSTREMNYA tanjakkan dan turunan di sana, dan bahkan bagaimana mungkin ada rel streetcar di medan seperti itu? Mobil SUV biasa saja pastinya butuh pengemudi yang handal dalam mengatasi tanjakan, apalagi kendaran dengan rel seperti itu. Mobil kami pun berhenti beberapa kali tiap 10 meter, bukan karena polisi tidur, bukan pula karena macet. Tapi karena perempatan. Seperti kota-kota besar di Amerika pada umumnya, jalanan di sana telah diatur serapi dan seseragam mungkin sehingga menghasilkan citra kotak-kotak dengan sudut siku-siku sempurna jika dilihat dari atas maupun dari aplikasi Maps. Setelah berkendara selama hampir 30 menit, kekaguman gua terhadap tata kota San Francisco mulai tergantikan dengan rasa ragu. Pemandangan di luar kaca mobil memperlihatkan kontur kota yang sangat berbeda dengan sebelumnya: datar. Bisa dibilang mirip Jakarta, hanya saja lebih kering dengan latar kecoklatan khas musim panas. Dan pada saat itu pula gua mulai menyadari betapa jauhnya rumah yang akan gua tinggali dengan pusat kota San Francisco.
Gua bukan tipe pengingat yang baik, apa lagi masalah jalan dan arah. Selama 8 minggu di San Francisco, entah berapa kali gua kebablasan, ketiduran, dan kesasar. Ketika mau menuju suatu tempat, gua lebih sering mengandalkan peta gua. Hingga pada akhirnya gua terbiasa untuk menghitung berapa perempatan atau stasiun lagi yang harus gua lewati. Walaupun demikian, sistem transportasi di San Francisco merupakan hal yang paling gua rindukan selain cuacanya saat musim panas. Efisien, mudah, cepat, dan murah.
Untuk menuju EF, gua biasa menggunakan MUNI atau BART dengan estimasi waktu sekitar 1-1.5 jam perjalanan. MUNI sendiri tersedia dalam bentuk bus, streetcar, maupun cable car. Sedangkan BART tersedia dalam bentuk kereta bawah tanah, menghubungkan San Francisco dan kota-kota di sekitarnya. Yang keren dari sistem transportasi ini adalah sistem mereka yang terintegrasi. Gua hanya membutuhkan 1 CLIPPER CARD yang berlaku 1 bulan untuk naik semua jenis transportasi baik MUNI maupun BART seharga $65-$80. Gua bisa juga beli tiket di atas kendaraan (onboard) MUNI seharga $2.25 yang berlaku selama 90 menit seperti yang tercetak di belakangnya tiketnya.
Sepasang muda-mudi yang gua tanyai pernah memberi petuah, “tidak tidak, jangan hiraukan angka itu (90 menit), banyak orang menggunakannya untuk seharian penuh, dan mereka (driver) tidak akan peduli.” Dan saran itu pun gua teruskan ke teman-teman yang lain.
Sepasang muda-mudi yang gua tanyai pernah memberi petuah, “tidak tidak, jangan hiraukan angka itu (90 menit), banyak orang menggunakannya untuk seharian penuh, dan mereka (driver) tidak akan peduli.” Dan saran itu pun gua teruskan ke teman-teman yang lain.
Pernah suatu hari, gua kehilangan dompet berisi KTP, KTM, sejumlah uang, EF student card, dan CLIPPER Card saat main ke Oakland. Beruntung waktu itu gua pergi sama 3 orang teman, dan bisa pulang dengan uang mereka. Namun permasalahan menyangkut transportasi belum selesai hingga satu minggu setelahnya. Gua sengaja menunggu sampai awal bulan Agustus untuk beli CLIPPER Card yang baru, itu artinya gua terpaksa beli tiket onboard selama 7 hari itu. Mengikuti petuah yang pernah diterima, gua terbiasa untuk menggunakan tiket pergi sebagai tiket pulang juga. Bahkan tidak sekali saat penumpang sangat ramai, gua ‘terpaksa’ tidak beli tiket. Pengemudi, satu-satunya official dalam kendaraan, tidak pernah peduli apakah tiket onboard yang kami gunakan itu masih dalam masa tenggangnya atau tidak, apakah kami menempelkan CLIPPER Card saat naik atau tidak, atau bahkan apakah kami membeli tiket atau tidak. Tidak sama sekali. Namun pada suatu hari, sekitar 4 polisi naik ke dalam bus yang gua tumpangi dan bersamaan dengan itu, beberapa orang terlihat terburu-buru untuk turun seolah tujuan mereka sudah kebablasan. Alasannya? Karena setelah bus berjalan, keempat polisi tadi langsung mengecek keabsahan tiket kami satu persatu. Dan setelah melewati beberapa stasiun, keempat polisi itu pun turun dengan menyeret seorang wanita yang kedapatan tidak menempelkan CLIPPER Card-nya saat naik. Beruntung saat itu gua punya tiket yang masih pada masanya. Ternyata begitu cara kerjanya..
Selain harganya yang relatif murah, sistem transportasi di sana juga sangat efisien. Bus akan berhenti di semua halte besar namun hanya akan berhenti di halte 'kecil' saat diminta oleh penumpang di dalam atau saat ada orang menunggu di haltenya. Yang membedakan adalah, jika halte besar terlihat seperti halte dengan tempat duduk dan kanopi pada umumnya, sedangkan halte kecil biasanya hanya berupa tiang lampu jalan dengan cat berwarna kuning atau palang bertuliskan bus stop yang biasanya tidak terlihat. Dan sayangnya informasi mengenai letak halte-halte kecil maupun besar ini tidak tersedia di Maps maupun peta cetak. Beruntung beberapa minggu kemudian sorang teman merekomendasikan aplikasi TRANSIT yang luar biasa membantu.
Hal lain yang cukup mengganggu adalah, ketidaktersedianya toilet umum. Di Indonesia, kita mungkin saja dengan mudah menuju minimarket atau restoran terdekat untuk sekedar 'ke belakang'. Namun di San Francisco, bahkan stasiun besar tidak selalu ada toiletnya. Selama di sana, gua bahkan hanya sekali menemukan toilet umum dalam stasiun, yaitu di stasiun BART Dally City.
Pernah suatu ketika, gua pulang agak sore hari itu. Seperti biasa, suhu di luar sangat dingin. Keinginan gua untuk ke toilet pun tiba-tiba datang saat gua baru sampai di stasiun West Portal. Terlalu jauh untuk pulang dan terlalu jauh untuk ke mall terdekat. Di sekeliling stasiun pun sebenarnya banyak sekali restoran. Gua keluar dari toko pertama dengan penolakan yang sangat sopan dari sang penjual karena di sana tidak tersedia toilet. Gua pun memberanikan diri untuk masuk ke restoran di sebelahnya. Sekitar pukul 8 malam, namun kursi-kursi sudah di naikkan. Dengan sangat gugup, gua memohon untuk meminjam toiletnya. Dengan sedikit tidak peduli, sang pekerja menolak gua. "Jika saya tidak bisa menggunakan toiletmu, bisakah kau memberi tahu dimana saya bisa menemukan toilet umum di dekat sini?" Dengan gemetar gua memohon padanya. Bukan sekedar gugup, tapi gua BENAR-BENAR BUTUH ke toilet. Setelah melihat gua dari atas ke bawah, dia pun menuyuruh gua untuk cepat. Untungnya malam itu gua selamat. Stasiun maupun restoran biasanya tidak menyediakan toilet umum. Hal ini mungkin bertujuan untuk mencegah masuknya gelandangan dan beristirahat di dalmanya. Beberapa restoran bahkan menyediakan toilet yang hanya bisa dibuka dengan koin khusus pelanggan.

Selain MUNI, BART, UBER, ferry, segway, skate dan long board, hover board, maupun sepeda, ada cara lain yang paling gua sukai untuk menikmati San Francisco: jalan kaki. SEMUA jalanan dilengkapi dengan pedestrian yang selalu bebas dari penjual lele penyet, sate madura, atau bubur ayam. San Francisco berhasil menjadikan pedestrian sebagai 'surganya' pejalan kaki. bahkan pedestrian di Market St. selalu ramai dengan orang: tua, muda, gelandangan, turis, pria dengan jasnya, wanita dengan gaun, sekelompok orang yang senang maraton keliling kota, serta pelajar dari Indonesia yang bahkan sering turun beberapa blok dari tujuannya hanya untuk 'berjalan-jalan'.
Selain harganya yang relatif murah, sistem transportasi di sana juga sangat efisien. Bus akan berhenti di semua halte besar namun hanya akan berhenti di halte 'kecil' saat diminta oleh penumpang di dalam atau saat ada orang menunggu di haltenya. Yang membedakan adalah, jika halte besar terlihat seperti halte dengan tempat duduk dan kanopi pada umumnya, sedangkan halte kecil biasanya hanya berupa tiang lampu jalan dengan cat berwarna kuning atau palang bertuliskan bus stop yang biasanya tidak terlihat. Dan sayangnya informasi mengenai letak halte-halte kecil maupun besar ini tidak tersedia di Maps maupun peta cetak. Beruntung beberapa minggu kemudian sorang teman merekomendasikan aplikasi TRANSIT yang luar biasa membantu.
Hal lain yang cukup mengganggu adalah, ketidaktersedianya toilet umum. Di Indonesia, kita mungkin saja dengan mudah menuju minimarket atau restoran terdekat untuk sekedar 'ke belakang'. Namun di San Francisco, bahkan stasiun besar tidak selalu ada toiletnya. Selama di sana, gua bahkan hanya sekali menemukan toilet umum dalam stasiun, yaitu di stasiun BART Dally City.
Pernah suatu ketika, gua pulang agak sore hari itu. Seperti biasa, suhu di luar sangat dingin. Keinginan gua untuk ke toilet pun tiba-tiba datang saat gua baru sampai di stasiun West Portal. Terlalu jauh untuk pulang dan terlalu jauh untuk ke mall terdekat. Di sekeliling stasiun pun sebenarnya banyak sekali restoran. Gua keluar dari toko pertama dengan penolakan yang sangat sopan dari sang penjual karena di sana tidak tersedia toilet. Gua pun memberanikan diri untuk masuk ke restoran di sebelahnya. Sekitar pukul 8 malam, namun kursi-kursi sudah di naikkan. Dengan sangat gugup, gua memohon untuk meminjam toiletnya. Dengan sedikit tidak peduli, sang pekerja menolak gua. "Jika saya tidak bisa menggunakan toiletmu, bisakah kau memberi tahu dimana saya bisa menemukan toilet umum di dekat sini?" Dengan gemetar gua memohon padanya. Bukan sekedar gugup, tapi gua BENAR-BENAR BUTUH ke toilet. Setelah melihat gua dari atas ke bawah, dia pun menuyuruh gua untuk cepat. Untungnya malam itu gua selamat. Stasiun maupun restoran biasanya tidak menyediakan toilet umum. Hal ini mungkin bertujuan untuk mencegah masuknya gelandangan dan beristirahat di dalmanya. Beberapa restoran bahkan menyediakan toilet yang hanya bisa dibuka dengan koin khusus pelanggan.
Selain MUNI, BART, UBER, ferry, segway, skate dan long board, hover board, maupun sepeda, ada cara lain yang paling gua sukai untuk menikmati San Francisco: jalan kaki. SEMUA jalanan dilengkapi dengan pedestrian yang selalu bebas dari penjual lele penyet, sate madura, atau bubur ayam. San Francisco berhasil menjadikan pedestrian sebagai 'surganya' pejalan kaki. bahkan pedestrian di Market St. selalu ramai dengan orang: tua, muda, gelandangan, turis, pria dengan jasnya, wanita dengan gaun, sekelompok orang yang senang maraton keliling kota, serta pelajar dari Indonesia yang bahkan sering turun beberapa blok dari tujuannya hanya untuk 'berjalan-jalan'.
Comments
Post a Comment