Skip to main content

Retentio Secundinae

“..Cervixnya sudah mulai menutup rapat, dan plasentanya pun jelas sudah mulai membusuk di dalam, Menyebarkan bau menyengat yang menempel pada semua jenis permukaan, termasuk kulit dan wearpack kami..”


Gua nyaris kehabisan akal buat menghilangkan bau busuk di wearpack gua. Setelah menghabiskan berbagai bahan kimia termasuk sabun cuci piring dan pelicin pakaian, akhirnya baunya tidak bisa benar-benar hilang. Wearpack itu akhirnya cuma bisa gua lipat dan dimasukkan dalam plastik dengan tambahan beberapa butir kapur barus. Bau itu mungkin akan selalu mengingatkan gua pada kasus terakhir di Salatiga.


Punggung, paha, dan tangan gua mulai pegal, gabungan antara akibat kontraksi cervix (leher rahim) si sapi dan posisi gua yang setengah berjongkok mengikuti posisi sapi yang juga setengah berjongkok tiap kali mengejan. Berkali-kali dokter Mukhlas menanyakan perkembangan kerja kami dengan sedikit cemas, sedangkan si sapi sepertinya sudah mulai kelelahan sambil sesekali mengejan. Sempitnya cervix yang sudah mulai menutup rapat itu menyebabkan dokter Mukhlas tidak dapat menyelesaikan kasus ini sendirian dan memberikan kesempatan pada gua dan Febri untuk “membersihkannya.”

Dalam posisi berdiri, uterus (rahim) sapi berbentuk seperti kantung tebal yang besar dengan hanya satu pintu masuk maupun keluar di bagian atasnya disebut dengan cervix. Di dalam kantung tersebut terdapat “kantung air” berisi embryo beserta “cairan ketubannya”, disebut dengan plasenta. Plasenta akan menempel pada dinding uterus pada beberapa titik perlekatan yang dapat mencapai 100 titik.
Setelah melahirkan, plasenta biasanya akan keluar dengan sendirinya dalam beberapa jam. Beberapa sapi dapat mengalami kasus retentio secundinae atau tertinggalnya plasenta dalam uterus. Di daerah perdesaan, beberapa dokter hewan biasanya mengambil tindakan dengan “mencabut paksa” plasenta tersebut jika masih tertinggal dalam satu malam. Dalam beberapa kasus, proses pencabutan ini dapat selesai dalam beberapa menit – sangat mudah, atau bahkan sampai satu jam. Seperti pada kasus retentio secundinae pertama kami, plasentanya sangat rapuh sehingga mudah robek namun menempel dengan sangat kuat dengan dinding uterus. Kami terpaksa mengeluarkannya helai demi helai dalam waktu yang cukup lama seperti mencabut stiker yang mudah robek. Untungnya, kasus kedua ternyata cukup mudah. Sang sapi yang kebetulan merupakan ternak dokter Mukhlas sendiri, baru saja melahirkan pada malam sebelumnya. Plasentanya tidak mudah robek dan ikatannya juga tidak terlalu kuat sehingga sangat mudah untuk dilepaskan. Selain dari faktor kerapuhan plasenta dan kekuatan ikatannya dengan dinding uterus, sempitnya cervix sebagai pintu masuk tangan kami pun juga menjadi penentu keberhasilan tindakan ini. Dalam kasus kami yang terakhir ini, sang pemilik lupa melaporkan sapinya pada dokter Mukhlas setelah sapinya melahirkan empat hari yang lalu. Cervixnya sudah mulai menutup rapat, dan plasentanya pun jelas sudah mulai membusuk di dalam, Menyebarkan bau menyengat yang menempel pada semua jenis permukaan, termasuk kulit dan wearpack kami.


Entah sudah berapa lama, namun rasanya sudah lebih dari 1 jam gua dan Febri bergantian “menarik dan mencabuti” plasenta di dalam. Wearpack kami sudah basah kuyup, campuran dari air bersih, urin, maupun cairan ketuban yang membusuk di dalam. Benda yang kami bicarakan dari tadi akhirnya tergletak seutuhnya di dasar kandang. Rasa puas menyelimuti gua dan Febri. Bukan kasus yang sangat susah namun juga bukan yang mudah. Bagi gua, pada saat itulah gua merasa semakin bangga dan percaya diri sebagai calon dokter hewan. Baunya yang menempel di kulit maupun wearpack mungkin tidak mudah hilang, namun pengalaman ini terasa sangat berharga. Suatu saat nanti mungkin gua akan menghadapi kasus yang jauh lebih sulit, jauh lebih melelahkan, dan jauh lebih bau. Namun melihat sang pemilik berterimakasih dengan tulus karena salah satu hartanya yang paling berharga masih bisa diselamatkan, memberikan gua semangat yang jauh lebih dahsyat untuk menempuh ilmu lebih baik lagi.

Merupakan rangkaian catatan magang Salatiga 2016. Bagian 1 dari 3.
Baca kisah lainnya dalam lebel #MagangSalatiga2016 

Comments

Popular posts from this blog

Kabar gembira untuk kita semua~

" Kabar gembira untuk kita semua~  Kasur asrama kini ada yg barunya ". Ahahy akhirnya kasur kutu diganti juga. Ayoyoy, kabar baik? Sekarang gua lagi menikmati kasur baru menn. Lebih keras tapi gak tepos. Dan lebih ngepas, jadi sepreinya ketat terus. Jadi lo gak perlu ngerapiin seprei tiap hari. Tebel, ketat, dan gak tepos Beruntunglah kalian yg gak pernah ngerasain kasur kutu. Kasur kapuk bekas, sempet menuhin lobi asrama. Gila, itu dibuang ke mana yo?

Rusuh

Head to IPB

Hahay untuk pertama kalinya akhirnya gua menginjak IPB menn!! Tepatnya tanggal 16 Juni kemaren. Jadi ceritanya ada pertemuan orang tua sama rektorat menn. Tapi anak-anak calon mahasiswa lain pada ngikut juga menn, termasuk gua biar tau kampusnya gitu menn. Niat awalnya, gua pergi sama nyokap naik mobil dari rumah jam setengah 7 biar gak kena macet dan gak telat. TAPI.. pas malemnya, gua baru inget menn, GUA BELOM LEGALISIR RAPOR. horror gak tuh? enggak. Sebenernya fotokopi legalisir rapor dipake buat hari selasa, tapi gua gak mungkin dateng ke sekolah hari selasa dan belom tentu dapet pagi itu juga. NAH! akhirnya gua terpaksalah memutuskan nyusul aja dari sekolah naik kereta. Akhirnya gua sampe di IPB jam 10.32. Sebelumnya gua naik angkot biru men.  Nah, menurut gua, angkot biru itu unik banget men. anti-mainstream gitu. gak ada nomornya menn! horror gak tuh? engga sih haha. tapi masalahnya di terminal itu, ada 3 angkot biru men, dan gak ada nomornya semua . nah! horor bange...